Dalam tinjauan pustaka ini penulis mengambil beberapa teori yang
berkaitan dengan tesis penelitian, yaitu :
A. Teori Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan
Pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh seseorang dipengaruhi
oleh banyak hal. Pemanfaatan pelayanan merupakan proses yang sangat
kompleks yang melibatkan keputusan individual, sosial dan pengaruh dari
profesional kesehatan.
Beberapa penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi
pemanfaatan pelayanan kesehatan adalah sebagai berikut : salah satu
pertimbangan yang menentukan sikap individu memilih sumber perawatan
adalah jarak yang ditempuh dari tempat tinggal mereka sampai ke tempat
sumber perawatan14) . Slack (1981) menyatakan bahwa keputusan untuk
menggunakan pelayanan kesehatan mencerminkan kombinasi kebutuhan
normatif (normative need) dan kebutuhan yang dirasakan (felt need).
Akibatnya keputusan untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan, para
konsumen sering bergantung pada informasi yang disediakan oleh
provider dengan preferensinya dan keinginan individu yang dilatar
belakangi dengan kemampuan untuk membayarnya15) .
Seseorang yang menderita suatu penyakit akan mengambil
keputusan untuk mencari pengobatan yang disebabkan adanya beberapa
faktor pendorong, yang menurut Jong (1981) terdiri dari lima faktor yang
dapat terjadi secara sendiri atau bersama, tergantung dari nilai dan
kepercayaan dan sikap orang tersebut, yaitu16) :
1. Interpersonal crisis, yaitu tingkat keparahan penyakit yang dirasakan
oleh seseorang, sehingga dia sadar akan gejala penyakitnya dan
mencari pengobatan untuk mengatasinya.
2. Interaksi sosial, yaitu keadaan seseorang yang merasa gejala
penyakitnya akan mengganggu aktivitas sosialnya.
3. Adanya orang lain yang menganjurkan untuk mencari pengobatan.
4. Adanya persepsi bahwa gejala itu mempengaruhi aktivitas fisiknya.
5. Seseorang memutuskan mencari pengobatan, bila gejalanya tidak
berkurang dalam waktu tertentu.
Anderson dalam teori perilakunya menjelaskan bahwa ada tiga
faktor utama yang mempengaruhi tindakan seseorang dalam
menggunakan pelayanan kesehatan yaitu faktor-faktor predisposiisi
(predisposing factors), faktor pemungkin (enabling factors) dan kebutuhan
(need)17) . Komponen predisposisi merupakan faktor-faktor yang
menggambarkan karakteristik individu yang mempunyai kecenderungan
untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan. Komponen predisposisi ini
terdiri dari : 17)
1. Demografi, seperti : umur, jenis kelamin, jumlah anggota keluarga,
status perkawinan.
2. Struktur sosial, meliputi : suku, ras, status sosial, kebudayaan,
pendidikan, jenis pekerjaan.
3. Kepercayaan tentang kesehatan, misalnya kepercayaan terhadap
penyakit, dokter, petugas kesehatan dan lainnya.
Faktor pemungkin adalah kondisi yang membuat seseorang
mampu melakukan tindakan pelayanan kesehatan. Termasuk dalam
komponen ini adalah sumber daya yang dimiliki keluarga maupun
masyarakat, misalnya tingkat pendapatan (status ekonomi), keikutsertaan
dalam program asuransi kesehatan yang ada, ketersediaan petugas yang
dapat memberikan pelayanan. Sedangkan faktor kebutuhan akan
pelayanan kesehatan adalah orang akan melakukan atau mencari upaya
pelayanan kesehatan tersebut. Keadaan status kesehatan seseorang
menimbulkan suatu kebutuhan yang dirasakan dan membuat seseorang
mengambil keputusan untuk mencari pertolongan atau tidak.
Gambar 2.1. Model Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Menurut
Andersen (1974)
Berdasarkan uraian di atas tampak bahwa perilaku individu dalam
memanfaatkan pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh banyak faktor.
Pada penelitian ini diduga pemanfaatan pelayanan kesehatan belum
Predisposing Enabling Needs Health
Service Use
Demographic Family Perceived Need
Age
Sex
Marital status
Past illness
Social structure
Education
Race
Occupaation
Family size
Ethniccity
Religion
Residential
Beliefs
Income
Health
insurance
Type of
regular
sources
Access to
regular
sources
Symtoms
Diagnoses
General
store
Community
Ration of
Health and
Facilities to
Population
Prices of
health
services
Region of
Country
Urban-Rural
Character
Symptoms
Diagnoses
Evaluated
Values concerning health and illness
Attitudes toward Health Services
Knowledge about Disease
berjalan sebagaimana mestinya sehingga mendorong tingginya AKI. Oleh
karena itu diperlukan model promosi kesehatan yang sesuai dan peneliti
memilih menggunakan teori Green. Green18) pada tahun 1980 telah
mengembangkan suatu model pendekatan yang dapat digunakan untuk
membuat perencanaan dan evaluasi kesehatan yang dikenal sebagai
kerangka PRECEDE. PRECEDE (Predisposing, Reinforcing and Enabling
Causes in Educational Diagnosis and Evaluation) memberikan serial
langkah yang menolong perencana untuk mengenal masalah mulai dari
kebutuhan pendidikan sampai pengembangan program untuk memenuhi
kebutuhan tersebut. Namun demikian pada tahun 1991 Green
menyempurnakan kerangka tersebut menjadi PRECEDE-PROCEED
(Policy, Regulatory, Organizational Construct in Educational and
Environmental Development). PRECEDE-PROCEED harus dilakukan
secara bersama-sama dalam proses perencanaan, implementasi dan
evaluasi. PRECEDE digunakan pada fase diagnosis masalah, penetapan
prioritas masalah dan tujuan program, sedangkan PROCEED digunakan
untuk menetapkan sasaran dan kriteria kebijakan, serta implementasi dan
evaluasi.
Langkah-langkah PRECEDE-PROCEED :
1. Fase 1. Diagnosis Sosial (Social Need Assessment)
Diagnosis sosial adalah proses penentuan persepsi
masyarakat terhadap kebutuhannya atau terhadap kualitas hidupnya
dan aspirasi masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidupnya
melalui partisipasi dan penerapan berbagai informasi yang didesain
sebelumnya.
Penilaian dapat dilakukan atas dasar data sensus ataupun vital
statistik yang ada, maupun dengan melakukan pengumpulan data
secara langsung dari masyarakat. Bila data langsung dikumpulkan dari
masyarakat, maka pengumpulan datanya dapat dilakukan dengan cara
: wawancara dengan informan kunci, forum yang ada di masyarakat,
Focus Group Discussion (FGD), nominal group process, dan survei.
2. Fase 2. Diagnosis Epidemiologi
Masalah kesehatan merupakan hal yang sangat berpengaruh
terhadap kualitas hidup seseorang. Efek yang ditimbulkannya dapat
secara langsung maupun tidak langsung, sebagai contoh premature
heart disease, langsung mempengaruhi kualitas hidup seseorang,
sedangkan malnutrisi memberikan efek tidak langsung terhadap
kualitas hidup karena hanya akan menurunkan produktivitas kerja
seseorang.
Pada fase ini dicari faktor kesehatan yang mempengaruhi
kualitas hidup seseorang ataupun masyarakat. Oleh sebab itu,
masalah kesehatan harus digambarkan secara rinci berdasarkan data
yang ada, baik yang berasal dari data lokal, regional, maupun
nasional. Pada fase ini harus diidentifikasi siapa atau kelompok mana
yang terkena masalah kesehatan (umur, jenis kelamin, lokasi, suku
dan lain-lain), bagaimana pengaruh atau akibat dari masalah
kesehatan tersebut (mortalitas, morbiditas, disability, tanda dan gejala
yang ditimbulkan) dan bagaimana cara untuk menanggulangi masalah
kesehatan tersebut (imunisasi, perawatan / pengobatan, perubahan
lingkungan maupun perubahan perilaku). Informasi ini sangat
diperlukan untuk menetapkan prioritas masalah, yang biasanya
didasarkan atas pertimbangan besarnya masalah dan akibat yang
ditimbulkannya serta kemungkinan untuk diubah.
3. Fase 3. Diagnosis Perilaku dan Lingkungan
Pada fase ini selain diidentifikasi masalah perilaku yang
mempengaruhi masalah kesehatan juga sekaligus diidentifikasi
masalah lingkungan (fisik dan sosial) yang mempengaruhi perilaku dan
status kesehatan ataupun kualitas hidup seseorang atau masyarakat.
Di sini seorang perencana harus dapat membedakan antara masalah
perilaku yang dapat dikontrol secara individual maupun yang harus
dikontrol melalui institusi. Misalnya pada kasus malnutrisi yang
disebabkan karena ketidakmampuan untuk membeli bahan makanan
maka intervensi pendidikan tidak akan bermanfaat, jadi health
promotor perlu melakukan pendekatan perubahan sosial (behavioral
change) untuk mengatasi masalah-masalah lingkungan.
Untuk mengidentifikasi masalah perilaku yang mempengaruhi
status kesehatan seseorang, digunakan indikator perilaku seperti :
pemanfaatan pelayanan kesehatan (utilization), upaya pencegahan
(preventive action), pola konsumsi makanan (consumption pattern),
kepatuhan (compliance), upaya pemeliharaan kesehatan sendiri (self
care). Dimensi perilaku yang digunakan adalah : earliness, quality,
persistence, frequency dan range. Indikator lingkungan yang
digunakan meliputi : keadaan sosial, ekonomi, fisik dan pelayanan
kesehatan, dengan dimensinya yang terdiri dari : keterjangkauan,
kemampuan dan pemerataan.
Langkah yang harus dilakukan dalam diagnosis perilaku dan
lingkungan adalah : a) memisahkan faktor perilaku dan non-perilaku
penyebab timbulnya masalah kesehatan; b) mengidentifikasi perilaku
yang dapat mencegah timbulnya masalah kesehatan dan perilaku
yang berhubungan dengan tindakan perawatan / pengobatan,
sedangkan untuk faktor lingkungan yang harus dilakukan adalah
mengeliminasi faktor non-perilaku yang tidak dapat diubah, seperti :
faktor genetis dan demografis; c) urutkan faktor perilaku dan
lingkungan berdasarkan besarnya pengaruh terhadap masalah
kesehatan; d) urutkan faktor perilaku dan lingkungan berdasarkan
kemungkinan untuk diubah; e) tetapkan perilaku dan lingkungan yang
menjadi sasaran program. Setelah itu tetapkan tujuan perubahan
perilaku dan lingkungan yang ingin dicapai program.
4. Fase 4. Diagnosis Pendidikan dan Organisasional
Determinan perilaku yang mempengaruhi status kesehatan
seseorang atau masyarakat dapat dilihat dari faktor : a) Faktor
predisposisi (predisposing factor) seperti : pengetahuan, sikap,
persepsi, kepercayaan dan nilai atau norma yang diyakini seseorang;
b) Faktor pemungkin (enabling factor), yaitu faktor lingkungan yang
memfasilitasi perilaku seseorang; dan c) Faktor penguat (reinforcing
factor) seperti perilaku orang lain yang berpengaruh (tokoh
masyarakat, guru, petugas kesehatan, orang tua, pemegang
keputusan) yang dapat mendorong orang untuk berperilaku.
Pada fase ini setelah diidentifikasi faktor pendidikan dan
organisasional, maka langkah selanjutnya adalah menetapkan tujuan
pembelajaran yang akan dicapai berdasarkan faktor predisposisi yang
telah diidentifikasi. Selain itu, berdasarkan faktor pemungkin dan
penguat yang telah diidentifikasi ditetapkan tujuan organisasional yang
akan dicapai melalui upaya pengembangan organisasi dan sumber
daya.
5. Fase 5. Diagnosis Administratif dan Kebijakan
Pada fase ini dilakukan analisis kebijakan, sumber daya dan
peraturan yang berlaku yang dapat memfasilitasi atau menghambat
pengembangan program promosi kesehatan. ”Kebijakan” yang
dimaksud disini adalah seperangkat peraturan yang digunakan
sebagai petunjuk untuk melaksanakan suatu kegiatan. Sedangkan
”peraturan” adalah penerapan kebijakan dan penguatan hukum serta
perundang-undangan dan ”organisasional” adalah kegiatan memimpin
atau mengkoordinasi sumber daya yang dibutuhkan untuk
pelaksanaan program. Pada diagnosis administratif dilakukan tiga
penilaian, yaitu : sumber daya yang dibutuhkan untuk melaksanakan
program, sumber daya yang ada di organisasi dan masyarakat, serta
hambatan pelaksanaan program. Sedangkan pada diagnosis
kebijakan dilakukan identifikasi dukungan dan hambatan politis,
peraturan dan organisasional yang memfasilitasi program dan
pengembangan lingkungan yang dapat mendukung kegiatan
masyarakat yang kondusif bagi kesehatan.
Pada fase ini setelah melangkah dari perencanaan dengan
PRECEDE ke implementasi dan evaluasi dengan PROCEED. PRECEDE
digunakan untuk meyakinkan bahwa program akan sesuai dengan
kebutuhan dan keadaan individu atau masyarakat sasaran. PROCEED
untuk meyakinkan bahwa program akan tersedia, dapat dijangkau, dapat
diterima dan dapat dipertanggungjawabkan. Oleh sebab itu, penilaian
sumber daya yang dibutuhkan dapat meyakinkan keberadaan program,
perubahan organisasional dibutuhkan untuk meyakinkan program dapat
dijangkau, perubahan politis dan peraturan dibutuhkan untuk meyakinkan
program dapat diterima oleh masyarakat dan evaluasi dibutuhkan untuk
meyakinkan program dapat dipertanggungjawabkan pada penentu
kebijakan, administrator, konsumen / klien, dan stake holder terkait, yaitu
untuk menilai apakah program sesuai dengan standar yang telah
ditetapkan.
Gambar 2.2. The Precede-Proceed Model For Health Promotion
Planning And Evaluation Menurut L.W. Green (2000)
B. Pengambilan Keputusan Keluarga dan Penolong Persalinan dalam
Merujuk Ibu Bersalin ke Rumah Sakit
a. Keluarga
Kehamilan termasuk salah satu periode krisis dalam kehidupan
seorang wanita. Tak dapat dielak kehamilan menimbulkan perubahan
drastis, bukan hanya fisik tetapi juga psikologis. Dalam aspek
psikologis, timbul pengharapan yang disertai kecemasan menyambut
HEALTH
PROMOTION Predisposing
factors
Health
Education
Policy
regulation
organization
Reinforcing
factors
Enabling
factors
Behaviour and
lifstyle
Environment
Health
Phase 5
Administrative
And policy
Diagnosis
Phase 4
Educational
And
Organizational
Diagnosis
Phase 3
Behavioral
And
Environmental
Diagnosis
Phase 2
Epidemiol
ogical
Diagnosis
Phase 1
Social
Diagnos
is
Phase 6
Implementation
Phase 7
Process
Evaluation
Phase 8
Impact
Evaluation
Phase 9
Outcome Evaluation
Quality
of life
persiapan kelahiran si bayi. Semua itu akan mewarnai interaksi antara
anggota dalam keluarga. Sikap dan reaksi seseorang ayah pada fase
kehamilan berbeda pada setiap suku, bangsa dan lebih tergantung
pada adat dan kebudayaan setempat19) .
Keluarga memberikan kontribusi dalam menentukan
penggunaan pelayanan kesehatan, seperti memberikan informasi
mengenai kebutuhan pelayanan kesehatan atau mengembangkan
sistem perawatan dalam keluarga17) . Keluarga juga merupakan
sumber dukungan yang mempengaruhi individu dalam memperoleh
atau menggunakan pelayanan kesehatan. Keluarga di sini meliputi
orangtua, pasangan, atau pun saudara.
Masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah, tinggal di
daerah pedesaan dan dengan status sosial ekonomi rendah, lebih
banyak yang cenderung menerima konsep peranan pria/wanita secara
tradisional dimana dalam pembuatan keputusan-keputusan keluarga,
suami yang paling banyak berbicara dan sebagai pembuat keputusan
terakhir 20) .
Pembuatan keputusan menurut Terry (1999) selalu
dihubungkan dengan suatu masalah atau suatu kesulitan. Dalam arti
keputusan dan penerapannya diharapkan akan menjawab persoalan
atau menyelesaikan konflik.
Keluarga inti (Nuclear family) yaitu kelompok yang terdiri dari
ayah, ibu dan anak-anak. Keluarga adalah unit terkecil dalam
masyarakat. Keluarga batih atau keluarga besar terdiri dari orang
tua/mertua, bapak, ibu, anak, menantu, dan cucu-cucunya.
Lingkungan keluarga baik keluarga inti maupun keluarga batih akan
mempengaruhi pengambilan keputusan khususnya tentang tempat
pelayanan kesehatan dan keputusan perujukan persalinan 9) .
Pada masyarakat Jawa yang menganut pola garis keturunan
patrilinear, maka dalam adat kebiasaan keluarga peranan sang ayah
sangat berpengaruh. Ayah sebagai kepala keluarga adalah perantara
dalam penentuan nasib termasuk yang menguasai sumber-sumber
ekonomi keluarga.
Fatimah Muis (1996) dalam penelitiannya melaporkan bahwa
para orang tua/mertua sangat berperan dalam menentukan,
menasehati dan menyarankan para ibu untuk periksa hamil pada
bidan. Kemudian mereka pulalah yang sangat mempengaruhi putusan
ibu atau keluarga untuk memilih dukun sebagai penolong
persalinan13) . Hasil penelitian Sutrisno (1997) dalam penelitiannya di
Kabupaten Purworejo menyebutkan bahwa suami, orang tua dan
mertua adalah anggota kelompok referensi yang paling sering
memberikan anjuran memilih tenaga penolong persalinan. Selain
suami, orang tua dan mertua, kader kesehatan dan dukun merupakan
kelompok yang sering memberikan anjuran dalam pemilihan tenaga
penolong persalinan 21) . 9)
b. Bidan
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor :
363/Mekes/Per/IX/1980 menyebutkan bahwa bidan adalah seseorang
yang telah mengikuti dan menyelesaikan program bidan yang telah
diakui pemerintah dan lulus ujian sesuai dengan persyaratan yang
berlaku. Siswa yang dapat mengikuti pendidikan bidan adalah siswa
yang telah lulus Sekolah Perawat Kesehatan (SPK) 22) . Perda No. 15
Tahun 2004 tentang Ijin Praktek Bidan pasal 1 ayat (1) menyebutkan
bahwa bidan adalah seorang wanita yang telah mengikuti program
pendidikan bidan dan lulus ujian sesuai persyaratan yang berlaku 23) .
Departemen Kesehatan RI dalam panduan bidan di tingkat
desa tahun 1996, menyebutkan bahwa bidan desa adalah bidan yang
ditempatkan, diwajibkan tinggal serta bertugas melayani masyarakat di
wilayah kerjanya yang meliputi satu sampai dua desa. Dalam
melaksanakan tugasnya bidan bertanggungjawab kepada Kepala
Puskesmas setempat dan bekerjasama dengan perangkat desa.
Tugas pokok bidan desa adalah sebagai berikut : a)
Melaksanakan pelayanan kesehatan ibu dan anak khususnya dalam
mendukung pelayanan kesehatan ibu hamil, bersalin dan nifas,
pelayanan kesehatan bayi dan anak balita, serta pelayanan KB; b)
Mengelola program KIA di wilayah kerjanya dan memantau pelayanan
KIA di wilayah desa berdasarkan data riil sasaran, dengan
menggunakan PWS-KIA; dan c) Meningkatkan peran serta masyarakat
dalam mendukung pelaksanaan pelayanan KIA, termasuk pembinaan
dukun bayi dan kader. Pembinaan wahana/forum peran serta
masyarakat yang terkait melalui pendekatan kepada pamong dan
tokoh masyarakat.
Fungsi bidan di desa adalah sebagai berikut : a) Memberikan
pelayanan kesehatan ibu; b) Memberikan pelayanan kesehatan balita;
c) Memberikan pertolongan pertama atau pengobatan lanjutan pada
kesakitan yang sering ditemukan atau menjadi masalah kesehatan
setempat terutama pada ibu, dan balita, misalnya ISPA, diare,
kecacingan, malaria di daerah endemis, pencegahan gonok di daerah
endemis, dan lain-lain; d) Mengelola pelayanan KIA dan upaya
pendukungnya yang meliputi perencanaan, pelaksanaan dan penilaian
hasil; e) Meningkatkan peran serta masyarakat dalam mendukung
pelaksanaan pelayanan KIA; dan f) Membantu sasaran/individu dan
keluarga untuk meningkatkan hidup sehat secara mandiri.
Mayasari 24) menjelaskan bahwa peran dan fungsi bidan dalam
pelayanan kebidanan meliputi pelaksana, pengelola, pendidik, dan
peneliti. Keempat peran dan fungsi tersebut dapat dijelaskan sebagai
berikut :
a. Sebagai pelaksana
Sebagai pelaksana, bidan melaksanakannya sebagai tugas
mandiri, kolaborasi/kerjasama, dan ketergantungan/merujuk.
1) Tugas mandiri bidan adalah tugas sebagai pelaksana yang
dilakukan secara mandiri dan terdiri dari : (a) Menerapkan
manajemen kebidanan pada setiap asuhan kebidanan yang
diberikan, (b) Memberikan pelayanan pada anak dan wanita
pra nikah dengan melibatkan klien, (c) Memberikan asuhan
kebidanan kepada klien selama kehamilan normal, (d)
Memberikan asuhan kebidanan kepada klien dalam masa nifas
dengan melibatkan klien/keluarga, (e) Memberikan asuhan
kebidanan pada bayi baru lahir, (f) Memberikan asuhan
kebidanan pada klien dalam masa nifas dengan melibatkan
klien/keluarga, (g) Memberikan asuhan kebidanan pada wanita
usia subur yang membutuhkan pelayanan keluarga berencana,
(h) Memberikan asuhan kebidanan pada wanita dengan
gangguan sistem reproduksi dan wanita dalam masa
klimakterium dan menopause, dan (i) Memberikan asuhan
kebidanan pada bayi, balita dengan melibatkan keluarga.
2) Tugas kolaborasi bidan adalah tugas sebagai pelaksana yang
dilakukan dengan kerjasama bersama pihak lain (seperti bidan
lain, dukun bayi, dokter) yang meliputi hal-hal sebagai berikut :
(a) Menerapkan manajemen kebidanan pada setiap asuhan
kebidanan sesuai fungsi kolaborasi dengan melibatkan klien
dan keluarga, (b) Memberikan asuhan kebidanan pada ibu
hamil dengan risiko tinggi dan pertolongan pertama pada
kegawatan yang memerlukan tindakan kolaborasi, (c)
Memberikan asuhan kebidanan pada ibu dalam masa
persalinan dengan risiko tinggi dan keadaan kegawatan yang
memerlukan pertolongan pertama dengan tindakan kolaborasi
dengan melibatkan klien dan keluarga, (d) Memberikan asuhan
kebidanan pada ibu dalam masa nifas dengan risiko tinggi dan
pertolongan pertama dalam kedaruratan yang memerlukan
tindakan kolaborasi dengan klien dan keluarga, (e) Memberikan
asuhan kebidanan pada bayi baru lahir dengan risiko tinggi dan
yang mengalami komplikasi serta kegawat daruratan yang
memerlukan tindakan kolaborasi dengan melibatkan keluarga,
dan (f) Memberikan asuhan kebidanan pada balita dengan
risiko tinggi dan yang mengalami komplikasi atau kegawatan
yang memerlukan tindakan kolaborasi dengan melibatkan
keluarga.
3) Tugas ketergantungan/merujuk bidan adalah tindakan yang
harus diambil oleh bidan untuk melakukan rujukan kepada
rumah sakit sebagai instansi yang memiliki fasilitas dan tenaga
yang lebih terampil dan lebih banyak untuk upaya
penyelamatan pasien yang berada dalam kondisi kritis atau
status risiko tinggi. Tugas ketergantungan / merujuk tersebut
mencakup : (a) Menerapkan manajemen kebidanan pada
setiap asuhan kebidanan sesuai dengan fungsi keterlibatan
klien dan keluarga, (b) Memberikan asuhan kebidanan melalui
konsultasi dan rujukan pada ibu hamil dengan risiko tinggi dan
kegawat daruratan, (c) Memberikan asuhan kebidanan melalui
konsultasi dan rujukan pada masa persalinan dengan penyulit
tertentu dengan melibatkan klien dan keluarga, (d) Memberikan
asuhan kebidanan melalui konsultasi dan rujukan pada ibu
masa nifas dengan penyulit tertentu dengan melibatkan klien
dan keluarga, (e) Memberikan asuhan kebidanan pada bayi
baru lahir dengan kelainan tertentu dan kegawatan yang
memerlukan konsultasi dan rujukan dengan melibatkan
keluarga, dan (f) Memberikan asuhan kebidanan kepada anak
balita dengan kelainan tertentu dan kegawatan yang
memerlukan konsultasi dan rujukan dengan melibatkan klien
dan keluarga
b. Sebagai pengelola
1) Mengembangkan pelayanan dasar kesehatan terutama
pelayanan kebidanan untuk individu, kelompok dan masyarakat
di wilayah kerja dengan melibatkan masyarakat/klien. (a)
Bersama tim kesehatan dan pemuka masyarakat mengkaji
kebutuhan terutama yang berhubungan dengan kesehatan ibu
dan anak untuk meningkatkan dan mengembangkan program
pelayanan kesehatan di wilayah kerjanya, (b) Menyusun
rencana sesuai dengan hasil pengkajian dengan masyarakat,
(c) Mengelola kegiatan-kegiatan pelayanan kesehatan
masyarakat khususnya kesehatan ibu dan anak serta KB
sesuai dengan program, (d) Mengkoordinir, mengawasi dalam
melaksanakan program/kegiatan pelayanan kesehatan ibu dan
anak serta KB, (e) Mengembangkan strategi untuk
meningkatkan kesehatan masyarakat khususnya kesehatan ibu
dan anak serta KB termasuk pemanfaatan sumber-sumber
yang ada pada program dan sektor terkait, (f) Menggerakkan,
mengembangkan kemampuan masyarakat dan memelihara
kesehatannya dengan memanfaatkan potensi-potensi yang
ada, (g) Mempertahankan, meningkatkan mutu dan kegiatankegiatan
dalam kelompok profesi, dan (h) Mendokumentasikan
seluruh kegiatan yang telah dilaksanakan
2) Berpartisipasi dalam tim untuk melaksanakan program
kesehatan dan sektor lain di wilayah kerjanya melalui
peningkatan kemampuan dukun bayi, kader kesehatan dan
tenaga kesehatan lain yang berada di bawah bimbingan dalam
wilayah kerjanya. (a) Bekerjasama dengan puskesmas, institusi
sebagai anggota tim dalam memberikan asuhan kepada klien
dalam bentuk konsultasi rujukan dan tindak lanjut, (b) Membina
hubungan baik dengan dukun, kader kesehatan / PLKB dan
masyarakat, (c) Memberikan pelatihan, membimbing dukun
bayi, kader dan petugas kesehatan lain, (d) Memberikan
asuhan kepada klien rujukan dari dukun bayi, dan (e) Membina
kegiatan-kegiatan yang ada di masyarakat yang berkaitan
dengan kesehatan.
c. Sebagai pendidik
1) Memberikan pendidikan dan penyuluhan kesehatan kepada
individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat tentang
penanggulangan kesehatan khususnya yang berhubungan
dengan pihak terkait kesehatan ibu, anak, dan KB. (a) Bersama
klien mengkaji kebutuhan akan pendidikan dan penyuluhan
kesehatan masyarakat khususnya dalam bidang kesehatan ibu,
anak dan KB, (b) Bersama klien dan pihak terkait menyusun
rencana penyuluhan kesehatan masyarakat sesuai dengan
kebutuhan yang telah dikaji, baik untuk jangka pendek atau
jangka panjang, (c) Menyiapkan alat dan bahan pendidikan
serta penyuluhan sesuai rencana yang telah disusun, (d)
Melaksanakan program/rencana pendidikan dan penyuluhan
kesehatan masyarakat sesuai dengan rencana jangka pendek
dan jangka panjang dengan melibatkan unsur-unsur yang
terkait termasuk masyarakat, (e) Bersama klien mengevaluasi
hasil pendidikan/penyuluhan kesehatan masyarakat dan
menggunakannya untuk memperbaiki dan meningkatkan
program di masa yang akan datang, dan (f)
Mendokumentasikan semua kegiatan dan hasil
pendidikan/penyuluhan kesehatan masyarakat secara lengkap
dan sistematis.
2) Melatih dan membimbing kader termasuk siswa bidan serta
membina dukun di wilayah atau tempat kerjanya. (a) Mengkaji
kebutuhan latihan dan bimbingan kader, dukun dan siswa, (b)
Menyusun rencana latihan dan bimbingan sesuai dengan hasil
pengkajian, (c) Menyiapkan alat dan bahan untuk keperluan
latihan bimbingan peserta latihan sesuai dengan rencana yang
telah disusun, (d) Melaksanakan pelatihan dukun dan kader
sesuai dengan rencana yang telah disusun dengan melibatkan
unsur-unsur terkait, (e) Membimbing siswa bidan dalam lingkup
kerjanya, (f) Menilai hasil latihan dan bimbingan yang telah
diberikan, (g) Menggunakan hasil evaluasi untuk meningkatkan
program bimbingan, dan (h) Mendokumentasikan semua
kegiatan termasuk hasil evaluasi pelatihan dan bimbingan
secara sistematis dan lengkap.
d. Sebagai peneliti
Melakukan investigasi atau penelitian terapan dalam bidang
kesehatan baik secara mandiri maupun secara kelompok. (1)
Mengidentifikasi kebutuhan investigasi yang akan dilakukan, (2)
Menyusun rencana kerja pelatihan, (3) Melaksanakan investigasi
sesuai dengan rencana, (4) Mengolah dan menafsirkan data hasil
investigasi, (5) Menyusun laporan hasil investigasi dan tindak
lanjut, (6) Memanfaatkan hasil investigasi untuk meningkatkan dan
mengembangkan program kerja atau pelayanan kesehatan.
Tanggung jawab bidan menurut Mayasari 24) adalah :
a. Konseling yang meliputi remaja putri, pranikah, prahamil, ibu hamil,
ibu bersalin, ibu nifas, klimakterium, dan menopause.
b. Pelayanan kebidanan normal yang meliputi kehamilan, persalinan,
nifas, pemeriksaan fisik, senam hamil, pengendalian anemia,
amniotomi, uterotonika, dan ASI ekslusif.
c. Pelayanan kebidanan abnormal yang meliputi : (1) Hamil yang
terdiri dari abortus imminens, hiperemisis tingkat I, preeklamsi,
anemia, dan suntikan penyulit, (2) Persalinan yang terdiri dari letak
sungsang, KPD tanpa infeksi, HPP, laserasi, dan distonia, (3)
Pertolongan nifas abnormal yang meliputi retensio plasenta, renjat
dan infeksi, plasenta manual, jaringan konsepsi, kompresi
bimanual, utorotenik kala III dan IV, dan (4) Ginekologi yang terdiri
dari keputihan, penundaan haid dan rujuk.
d. Pelayanan kebidanan pada anak yang meliputi intranatal,
hipotermi, kontak dini, ASI eksklusif, perawatan tali pusar,
resusitasi pada bayi asfiksia, minum sonde dan pipet, stimulasi
tumbuh kembang, imunisasi lengkap dan pengobatan ringan pada
penyakit ringan.
e. Pelayanan KB yang meliputi penanganan efek samping,
pemberian alat kontrasepsi sesuai pilihan, suntik KB, pasang
AKBK, melepas AKBK tanpa penyulit, serta penyuluhan IMS dan
narkoba.
f. Pelayanan kesehatan masyarakat meliputi pembinaan peran serta,
pelayanan kebidanan komunitas, deteksi dini, pertolongan I rujuk,
IMS, narkoba dan pertolongan I narkoba.
Berkaitan dengan pengambilan keputusan bidan dalam
merujuk ibu bersalin ke rumah sakit adalah pengetahuan yang
berhubungan dengan persalinan ibu. Pengetahuan-pengetahuan bidan
tersebut antara lain :
1. Pelayanan antenatal
Pelayanan antenatal adalah pelayanan kesehatan yang
diberikan kepada ibu dan janin selama kehamilan yang dilakukan
secara berkala, yang diikuti upaya koreksi terhadap penyimpangan
yang ditemukan tujuannya untuk menjaga agar ibu hamil dapat
melalui masa kehamilan, persalinan dan nifas dengan baik dan
selamat serta menghasilkan bayi yang sehat. Sebagai pelaksana
pelayanan antenatal adalah tenaga profesional yaitu bidan, dokter
dan atau perawat yang sudah dilatih.
Pelayanan antenatal mencakup banyak hal yang meliputi
anamnesis, pemeriksaan fisik, serta intervensi dasar dan khusus
(sesuai risiko yang ada). Dalam penerapan operasionalnya dikenal
standar minimal “5 T” pelayanan antenatal yang terdiri atas (1)
timbang berat badan, ukur tinggi badan, (2) ukur tekanan darah,
(3) pemberian imunisasi tetanus oxoid (TT) lengkap, dan
pemberian tablet zat besi minimal 90 tablet selama kehamilan.
Dengan demikian secara operasional apabila pelayanan
antenatal yang tidak memenuhi standar minimal “5 T” maka belum
dianggap suatu pelayanan antenatal. Pelayanan antenatal ini
hanya dapat diberikan oleh tenaga profesional dan tidak dapat
dilakukan oleh dukun bayi.
Frekuensi pelayanan antenatal minimal empat kali selama
kehamilan dengan ketentuan waktu sebagai berikut (1) minimal 1
kali pada triwulan pertama, (2) minimal 1 kali pada triwulan kedua,
dan (3) minimal dua kali pada triwulan ketiga.
Standar waktu pelayanan antenatal tersebut ditentukan
untuk menjamin mutu pelayanan, khususnya dalam memberi
kesempatan yang cukup dalam menangani kasus risiko tinggi yang
ditemukan 25) . Lebih lanjut, Poedji 26) pemeriksaan antenatal
penting disamping untuk skrining atau deteksi adanya faktor risiko
juga perencanaan persalinan untuk mendapatkan pertolongan
persalinan yang aman. Hal yang sama dilaporkan Soejoenoes 20)
pemeriksaan antenatal yang teratur memberikan kesempatan
untuk dapat mendiagnosis masalah yang dapat menyulitkan
kehamilan maupun persalinan, sehingga dapat dilakukan rujukan
dini.
2. Pelayanan persalinan
Persalinan merupakan suatu proses alami yang ditandai
oleh terbukanya serviks, diikuti dengan lahirnya bayi dan placenta
melalui jalan lahir. Penolong persalinan perlu memantau keadaan
ibu dan janin untuk mewaspadai secara dini terjadinya komplikasi.
Disamping itu penolong persalinan juga berkewajiban untuk
memberikan dukungan moril dan rasa nyaman kepada ibu yang
sedang bersalin. Ketika mulai menolong persalinan, perlu dilihat
kembali catatan pelayanan antenatal untuk mempelajari kembali
keadaan ibu dan janin selama kehamilan.
3. Pelayanan pasca persalinan
4. Kematian ibu
Pengelompokan menurut International Statistical
Classification of Diseases, Injuries, and Causes of Death, Edition X
(ICD-X), kematian ibu adalah kematian seorang wanita dalam
masa kehamilan atau dalam waktu 42 hari setelah berakhirnya
kehamilan, tanpa memperdulikan lama dan letak kehamilan, akibat
dengan dan/atau dipicu oleh kehamilan atau penatalaksanaannya,
tetapi bukan sebab kecelakaan. Kematian ibu dapat dibagi menjadi
dua kelompok yaitu 7) (1) Kematian langsung adalah kematian
yang timbul sebagai akibat komplikasi kehamilan, persalinan, dan
nifas yang disebabkan oleh semua intervensi, kegagalan
pengobatan yang tidak tepat atau rangkaian peristiwa tersebut di
atas; dan (2) Kematian tidak langsung adalah kematian yang
diakibatkan oleh penyakit yang timbul sebelum atau selama
kehamilan dan tidak disebabkan langsung oleh penyebab
kebidanan akan tetapi diperburuk oleh kehamilan yang fisiologis.
Lima penyebab kematian ibu adalah perdarahan, sepsis,
hipertensi dalam kehamilan, partus lama dan abortus terinfeksi.
Selanjutnya, kematian tersebut dapat dicegah melalui upaya
perbaikan gizi, KB, pencegahan abortus provokatus, pelayanan
obstetrik berkualitas tinggi (kehamilan, persalinan dan pasca
persalinan, transportasi dan komunikasi yang baik, penyediaan
darah yang cepat dan aman, peningkatan pendidikan wanita dan
perbaikan status wanita dalam lingkungan sosial budayanya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kematian ibu dapat
dibagi menjadi faktor medik, faktor non-medik, dan faktor
pelayanan kesehatan. Faktor medik adalah faktor risiko yang
meliputi (1) usia ibu pada waktu hamil terlalu muda (kurang dari 20
tahun) atau terlalu tua (lebih dari 35 tahun), (2) tinggi badan kurang
dari 145 cm, (3) anak lebih dari empat, (4) jarak antar kehamilan
kurang dari dua tahun, (5) riwayat obstetri jelek, (6) berat badan
kurang dari 38 kg, dan (7) kelainan bentuk tubuh, misalnya
kelainan tulang belakang atau panggul.
Selain itu, beberapa komplikasi kehamilan, persalinan dan
nifas merupakan penyebab langsung kematian ibu. Komplikasi
tersebut meliputi (1) perdarahan pervaginam, khususnya pada
kehamilan trimester ketiga, persalinan dan pasca persalinan, (2)
infeksi, (3) keracunan kehamilan, (4) komplikasi akibat partus lama,
dan (5) trauma persalinan. Beberapa keadaan dan gangguan yang
memperburuk derajat kesehatan ibu selama hamil yang berperan
dalam meningkatkan kematian ibu antara lain kekurangan gizi dan
anemia.
Faktor non medik merupakan faktor-faktor sosial yang
dapat membantu identifikasi wanita dalam masa hamil dan
mempunyai risiko tinggi adalah golongan sosial ekonomi rendah,
pendidikan rendah, tempat tinggal yang terpencil sehingga jauh
dari fasilitas kesehatan, kehamilan di luar nikah dan ibu yang
memperoleh pelayanan kebidanan dari tenaga yang tidak terdidik
atau terlatih. Sedangkan faktor pelayanan kesehatan yang
mencakup (1) belum mantapnya jangkauan pelayanan KIA dan
penanganan kelompok berisiko, (2) cakupan pertolongan
persalinan oleh tenaga kesehatan masih rendah (kurang lebih
30%), (3) masih seringnya pertolongan persalinan yang dilakukan
di rumah oleh dukun bayi yang tidak mengetahui tanda-tanda
bahaya pesalinan (70-80%).
Faktor pelayanan kesehatan yang merupakan faktor
penghambat yang berkaitan dengan ketrampilan pemberi
pelayanan, antara lain (1) belum ditetapkannya prosedur tetap
penanganan kasus gawat darurat kebidanan secara konsisten, (2)
kurangnya pengalaman bidan di desa yang baru ditempatkan
dalam mendeteksi dan menangani ibu berisiko tinggi, (3) kurang
mantapnya ketrampilan dokter Puskesmas dalam menangani
kegawat daruratan kebidanan, (4) kurang mantapnya ketrampilan
bidan Puskesmas dan bidan praktek swasta untuk ikut aktif dalam
jaringan sistem rujukan, dan (5) kurangnya upaya alih teknologi
tepat guna dari dokter spesialis kandungan RSU Kabupaten
kepada Dokter/Bidan Puskesmas.
Gambar 2.3. Determinasi Kematian Ibu Menurut Wisnuwardhani (1999)
Kualitas dan kuantitas cakupan pelayanan kesehatan dan
peran serta masyarakat sangat mempengaruhi kesejahteraan dan
keamanan kehamilan serta persalinan. 94% kematian adalah
akibat obstetrik langsung, 75-85% kematian disebabkan oleh trias
klasik, yaitu toksemia, perdarahan dan infeksi. Ironisnya 90% dari
Terlambat
mengenali
risiko/bahaya
Terlambat
mengambil
keputusan
untuk merujuk
Terlambat
mendapatkan
pertolongan di
fasilitas
kesehatan
Terlambat
mendapatkan
transportasi
Riwayat
kesehatan
reproduksi
Riwayat
kehamilan
Ketidaktahuan
ibu / suami /
keluarga
tentang
persalinan dan
kehamilan
resti
Penolong
persalinan
Karakteristik
ibu/ suami/
keluarga :
1. Umur
2. Pendidikan
3. Penghasilan
4. Pekerjaan
Pengaruh dari
suami, ayah,
ibu dan
mertua
Karakteristik
RS :
Jumlah dan
ketrampilan
tenaga
kesehatan
Ketersediaa
n alat, obat,
bahan habis
pakai
Transfusi
darah
Kondisi
geografi
Jarak
Biaya
Fasilitas
transportasi
yang tersedia
KEMATIAN
IBU
BERSALIN
kematian ini dapat dicegah 20) . Bila pelayanan obstetrik yang tepat
guna/memadai tersedia, belumlah menjadi jaminan
pemanfaatannya. Masyarakat yang membutuhkan seringkali tidak
dapat menjangkau akibat hambatan jarak, biaya dan budaya.
Pengetahuan dan kesadaran masyarakat dalam pengenalan tanda
bahaya dan pencarian pertolongan profesional seringkali belum
memadai. Di banyak Negara berkembang masih sering ditemukan
hambatan lain berupa ketidakberdayaan wanita dalam
pengambilan keputusan, sementara peran suami dan mertua
sangat dominan dan banyak faktor yang menyebabkan
keterlambatan dalam rujukan, namun dapat dikategorikan dalam
tiga jenis keterlambatan sebagai berikut (1) Keterlambatan dalam
mengambil keputusan untuk merujuk. Pengambilan keputusan
untuk merujuk merupakan langkah pertama dalam menyelamatkan
ibu yang mengalami komplikasi obstetri. (2) Keterlambatan dalam
mencapai fasilitas kesehatan. Bila keputusan untuk merujuk telah
diambil, ibu akan menuju ke fasilitas pelayanan kedaruratan
obstetri. Keterlambatan dalam mencapai fasilitas kesehatan dapat
dipengaruhi oleh jarak, ketersediaan sarana transportasi, dan
biaya. (3) Keterlambatan dalam memperoleh pertolongan di
fasilitas kesehatan. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor,
misalnya jumlah dan ketrampilan tenaga kesehatan, ketersediaan
alat, obat, transfusi darah dan bahan habis pakai, manajemen
serta kondisi fasilitas pelayanan. Masalah gawat darurat obstetrik
terbagi menjadi empat terlambat yaitu 27) : (1) Terlambat mengenali
risiko atau bahaya. Contoh : Ibu yang tidak pernah melakukan
pemeriksaan kehamilan, tidak mengetahui bahwa ia menderita
gejala pre-eklampsi, tidak mengetahui bahwa panggulnya sempit
atau bayinya ada kelainan letak dan lain-lain. (2) Terlambat
mengamil keputusan untuk mencari pertolongan. Contoh :
Keputusan untuk mencari pertolongan pada tenaga kesehatan
harus menunggu suami atau orang tua yang sedang tidak ada di
tempat. (3) Terlambat mendapatkan transportasi untuk membawa
ke fasilitas yang lebih mampu. Contoh : Rumah Sakit rujukan jauh
dan membutuhkan kendaraan dengan biaya yang tidak terjangkau
oleh penghasilan keluarga. (4) Terlambat mendapatkan
pertolongan di rumah sakit. Contoh : karena dokter tidak ada di
tempat atau karena tenaga kesehatan yang menjadi anggota tim
tindakan operasi tinggal jauh dari rumah sakit, pertolongan
terlambat diberikan. Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan
bahwa masalah kesakitan dan kematian ibu tidak dapat diatasi
hanya oleh sektor kesehatan saja. Banyak sekali sektor yang
terkait dengan masalah ini. Menurut Carthy dan Maine (1992)
dalam kerangka konsepnya membagi penyebab kesakitan dan
kematian ibu menjadi determinan jauh, determinan antara dan
determinan dekat yang menjadi penentu kematian ibu. 28)
Determinan jauh meliputi determinan sosial, ekonomi, dan
budaya termasuk status wanita dalam keluarga dan masyarakat,
status keluarga dalam masyarakat dan status masyarakat. Status
tersebut antara lain dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, pekerjaan
dan penghasilan, serta faktor sosiobudaya. Determinan jauh ini
pada umumnya melatarbelakangi kejadian kematian ibu penyebab
langsung.20)
Determinan antara dipengaruhi oleh determinan jauh
seperti dikemukakan di atas, dan meliputi status kesehatan, status
reproduksi, akses terhadap pelayanan kesehatan dan perilaku
sehat. Hal-hal tersebut tidak langsung menyebabkan kematian ibu,
namun merupakan keadaan atau kondisi yang menempatkan ibu
ke dalam risiko mengalami kesakitan.
Determinan dekat dipengaruhi oleh determinan antara dan
meliputi kehamilan dan komplikasi obstetri yang ditimbulkannya.
Komplikasi obstetri merupakan penyebab langsung kematian ibu
yaitu pendarahan, infeksi, eklamsia, partus lama dan abortus.
Intervensi yang ditujukan untuk mengatasi komplikasi obstetri
tersebut merupakan intervensi jangka pendek yang hasilnya akan
dapat segera terlihat dalam bentuk penurunan AKI. Namun
intervensi hanya pada penyebab langsung saja tidak akan
menyelesaikan masalah kematian ibu secara tuntas dan lestari.20)
Dari uraian di atas maka dapat dipahami bahwa wanita
hamil memiliki risiko morbiditas yang lebih tinggi dibandingkan
wanita tidak hamil. Upaya untuk menyelamatkan wanita agar
kehamilan dan persalinannya dapat dilalui dengan sehat dan
aman, WHO mengembangkan konsep Four Pillar of Safe
Motherhood untuk menggambarkan ruang lingkup upaya
penyelamatan ibu dan bayi. Empat pilar dalam upaya safe
motherhood tersebut adalah 7) : (1) Keluarga Berencana. Konseling
dan pelayanan keluarga berencana harus tersedia untuk semua
pasangan dan individu. Dengan demikian pelayanan keluarga
berencana harus menyediakan informasi dan konseling yang
lengkap dan juga pilihan metode kontrasepsi yang memadai,
termasuk kontrasepsi emergensi, dan pelayanan ini harus
merupakan bagian dari program komprehensif pelayanan
kesehatan reproduksi. Program keluarga berencana memiliki
peranan dalam menurunkan risiko kematian ibu melalui
pencegahan kehamilan, penundaan usia kehamilan serta
menjarangkan kehamilan. (2) Asuhan antenatal. Dalam masa
kehamilan, petugas kesehatan harus memberi pendidikan pada ibu
hamil tentang cara menjaga diri agar tetap sehat dalam masa
tersebut, membantu wanita hamil dan keluarganya untuk
mempersiapkan kelahiran bayi, meningkatkan kesadaran mereka
tentang kemungkinan adanya risiko tinggi atau terjadinya
komplikasi dalam kehamilan/persalinan dan cara mengenali
komplikasi tersebut secara dini. Petugas kesehatan diharapkan
mampu mengidentifikasi dan melakukan penanganan risiko
tinggi/komplikasi secara dini serta meningkatkan status kesehatan
wanita hamil. (3) Persalinan bersih dan aman. Dalam persalinan,
wanita harus ditolong oleh tenaga kesehatan professional yang
memahami cara menolong persalinan secara bersih dan aman.
Tenaga kesehatan juga harus mampu mengenali secara dini gejala
dan tanda komplikasi persalinan serta mampu melakukan
penatalaksanaan dasar terhadap gejala dan tanda tersebut. Selain
itu, mereka juga harus siap untuk melakukan rujukan komplikasi
persalinan yang tidak bisa diatasi ke tingkat pelayanan yang lebih
mampu. (4) Pelayanan obstetri esensial. Pelayanan obstetri
esensial bagi ibu yang mengalami kehamilan risiko tinggi atau
komplikasi diupayakan agar berada dalam jangkauan setiap ibu
hamil. Pelayanan obstetri esensial meliputi kemampuan fasilitas
pelayanan kesehatan untuk melakukan tindakan dalam mengatasi
risiko tinggi dan komplikasi kehamilan/persalian. Secara
keseluruhan, keempat tonggak tersebut merupakan bagian dari
pelayanan kesehatan primer. Dua diantaranya asuhan antenatal
dan persalinan bersih dan aman merupakan bagian pelayanan
kebidanan dasar. Sebagai dasar/pondasi yang dibutuhkan untuk
mencapai keberhasilan upaya ini adalah pemberdayaan wanita.
c. Pengambilan Keputusan Keluarga dan Penolong dalam Merujuk
Ibu Bersalin ke Rumah Sakit
Tindakan merujuk merupakan salah satu kewajiban bidan
apabila dirinya tidak dapat menangani 23) . Tindakan tersebut dilakukan
apabila kondisi pasien dalam suatu kegawatdaruratan dan
membahayakan jiwa.
Pengambilan keputusan dalam merujuk ibu bersalin ke rumah
sakit merupakan suatu proses pengambilan keputusan yang rumit dan
sering melibatkan beberapa keputusan. Suatu keputusan melibatkan
pilihan di antara kedua atau lebih alternatif tindakan. Dengan kata lain
keputusan selalu mensyaratkan pilihan di antara beberapa perilaku
yang berbeda.
Pengambilan keputusan dalam merujuk ibu bersalin ke rumah
sakit dapat dianalogikan sebagai pengambil keputusan konsumen.
Dalam model keputusan tersebut, semua aspek pengaruh dan kognisi
dilibatkan dalam pengambilan keputusan bidan, termasuk
pengetahuan, arti, kepercayaan yang diaktifkan dari ingatan serta
proses perhatian dan pemahaman yang terlibat dalam penafsiran
RS Propinsi
Ahli Kebidanan
Bidan
RS Kabupaten/Kota
Ahli Kebidanan
Dokter Umum
Bidan
Puskesmas
Dokter Umum
Bidan
Masyarakat
Bidan Desa Dukun
Gambar 2.4. Struktur Sistem Kesehatan dan Pola Rujukan
Menurut Sherris (1999)
informasi baru dilingkungannya. Dengan kata lain inti dari pengambilan
keputusan adalah proses pengintegrasian yang mengkombinasikan
pengetahuan untuk mengevaluasi dua atau lebih perilaku alternatif,
dan memilih salah satu diantaranya 29) . Hasil dari proses
pengintegrasian ini adalah suatu pilihan yang disajikan secara kognitif
sebagai keinginan berperilaku.
Gambar 2.5. Model Pemrosesan Kognitif Pengambilan
Keputusan Menurut Setiadi (2003)
Eksposur pada
informasi lingkungan
Proses interpretasi
Pengetahuan, arti,
dan kepercayaan
Proses
pengintegrasian
Perhatian
pemahaman
Sikap dan keinginan
pengambilan
keputusan
Perilaku
Ingatan
Pengambilan keputusan yang dilakukan untuk merujuk ibu
bersalin ke rumah sakit dapat dipandang sebagai proses pemecahan
masalah, yaitu suatu aliran tindakan timbal balik yang
berkesinambungan di antara faktor lingkungan, proses kognitif dan
afektif, serta tindakan 29) . Dalam proses tersebut terdapat lima tahapan
dimana kelima tahapan tersebut tidak selalu berjalan dalam urutan
linier.
Gambar 2.6. Model Pemecahan Masalah Menurut Setiadi (2003)
Keterangan dari gambar 2.6. sebagai berikut :
i. Pemahaman adanya masalah merupakan adanya perbedaan yang
dirasakan antara status hubungan yang ideal dengan yang
sebenarnya.
ii. Pencarian alternatif pemecahan merupakan proses mencari
informasi yang relevan dari lingkungan luar untuk memecahkan
masalah, atau mengaktifkan pengetahuan dari ingatan.
iii. Evaluasi alternatif adalah suatu proses untuk mengevaluasi
alternatif yang ada dalam konteks kepercayaan utama tentang
konsekuensi yang relevan dan mengkombinasikan pengetahuan
tersebut untuk membuat keputusan.
Pemahaman
adanya
masalah
Pencarian
alternatif
pemecahan
Penggunaan
pasca keputusan
(rujukan) dan
evaluasi ulang
alternatif yang
dipilih
Keputusan
(Rujukan)
Evaluasi
alternatif
iv. Rujukan adalah tindakan alternatif yang dipilih. Dalam konteks ini
keluarga dan penolong mengambil tindakan untuk merujuk ibu
bersalin ke rumah sakit.
v. Penggunaan pasca keputusan (rujukan) dan evaluasi ulang
alternatif yang dipilih merupakan proses pemakaian alternatif
merujuk dan mengevaluasinya berdasarkan kinerja yang
dihasilkan. Dalam arti apakah ibu bersalin yang dirujuk
mendapatkan tindakan tepat dan selamat.
Tingkat upaya pengambilan keputusan keluarga dan penolong
dalam merujuk ibu bersalin ke rumah sakit dipengaruhi oleh faktor
lingkungan, disamping tanggapan kognitif (pengetahuan) dan afektif
yang diaktifkan selama proses pengambilan keputusan. Dari ketiga
hal tersebut, pengetahuan dan afektif yang diaktifkan memiliki dampak
langsung pada pemecahan masalah. Adapun penjelasan dari faktor
yang mempengaruhi tingkat upaya pengambilan keputusan adalah 29) :
a. Tujuan. Hierarki tujuan keluarga dan penolong dalam menghadapi
kegawatdaruratan ibu bersalin berpengaruh kuat terhadap proses
melakukan rujukan ke rumah sakit sebagai proses pemecahan
masalah. Jika keluarga dan penolong memiliki hierarki tujuan yang
terdefinisi dengan baik dalam ingatannya, maka tujuan tersebut
dapat diaktifkan dan rencana keputusan yang terkait akan
dilakukan secara otomatis. Bahkan kalaupun tidak tersedia
rencana keputusan yang lengkap, suatu hierarki tujuan yang umum
dapat menjadi struktur yang sangat berguna untuk
mengembangkan rencana keputusan yang efektif tanpa
membutuhkan upaya pemecahan masalah yang terlalu besar.
b. Pengetahuan dan keterlibatan. Proses pemecahan masalah bidan
sangat dipengaruhi oleh jumlah pengetahuan yang didapatkan
sepanjang masa lalunya, dan melalui tingkat keterlibatan dan atau
proses memilih. Pengetahuan tentang tujuan, alternatif pilihan dan
kriteria pilihan yang diaktifkan, serta heuristik mempengaruhi
kemampuan keluarga dan penolong menciptakan suatu rencana
keputusan yang efektif.
c. Faktor lingkungan dapat mempengaruhi keputusan keluarga dan
penolong dengan menyela atau mengganggu aliran proses
pemecahan masalah yang sedang berjalan. Ada lima kejadian
yang dapat mengganggu yaitu (1) gangguan yang muncul ketika
informasi tak diharapkan, tidak konsisten dengan struktur
pengetahuan yang muncul dari lingkungan, (2) rangsangan
lingkungan yang mencolok, (3) status pengaruh, seperti suasana
hati dan kejadian psikososial, (4) konflik, dan (5) dampak dari
penyelaan yang dipengaruhi oleh penafsiran bidan atas gangguan
yang muncul.
Pada penelitian ini, pengambilan keputusan merupakan upaya
untuk memutuskan merujuk ibu bersalin ke rumah sakit. Menurut
World Health Organization (WHO) 30) rumah sakit merupakan institusi
yang yang terintegral dengan organisasi kesehatan dan organisasi
sosial, serta berfungsi menyediakan pelayanan kesehatan yang
lengkap, baik kuratif maupun preventif baik untuk pasien rawat jalan
dan rawat inap melalui kegiatan pelayanan medis serta perawatan.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia memberikan
definisi mengenai rumah sakit sebagai berikut 30) : (a) Rumah Sakit
adalah pusat dimana pelayanan kesehatan masyarakat, pendidikan
serta penelitian kedokteran diselenggarakan, (b) Rumah Sakit adalah
suatu alat organisasi yang terdiri tenaga medis profesional yang
terorganisir serta sarana kedokteran, asuhan keperawatan yang
berkesinambungan, diagnosis serta pengobatan penyakit yang diderita
oleh pasien, dan (c) Rumah Sakit adalah tempat dimana orang sakit
mencari dan menerima pelayanan kedokteran serta tempat dimana
pendidikan klinik untuk mahasiswa kedokteran, perawat, dan tenaga
profesi kesehatan lainnya diselenggarakan.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia 30) menyatakan
bahwa fungsi dari rumah sakit adalah : (a) Menyediakan dan
menyelenggarakan pelayanan medik, penunjang medik, rehabilitasi,
pencegahan dan peningkatan kesehatan, (b) Menyediakan tempat
pendidikan dan atau latihan tenaga medik dan paramedik, dan (f)
Sebagai tempat penelitian dan pengembangan ilmu dan teknologi
bidang kesehatan.
Lebih lanjut fungsi-fungsi tersebut dilaksanakan dalam kegiatan
intramural (di dalam rumah sakit) dan ekstramural (di luar rumah sakit).
Kegiatan intramural dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu
pelayanan rawat inap dan pelayanan rawat jalan.
Berdasarkan uraian di atas maka yang dimaksud dengan
pengambilan keputusan keluarga dan penolong dalam merujuk ibu
bersalin ke rumah sakit adalah suatu proses pengambilan keputusan
yang rumit dan melibatkan beberapa tahapan yaitu pemahaman
adanya masalah, pencarian alternatif, evaluasi alternatif dan akhirnya
memutuskan untuk merujuk atau tidak atas kondisi pasien yang
mengalami kegawatdaruratan dan membahayakan jiwa ke rumah
sakit.
d. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengambilan Keputusan
Keluarga dan Penolong dalam Merujuk Ibu Bersalin ke Rumah
Sakit
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan
keluarga dan penolong dalam merujuk ibu bersalin ke rumah sakit
adalah :
i. Pengetahuan (Knowledge)
Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu
seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata,
hidung, telinga, dan sebagainya). Dengan sendirinya, pada waktu
penginderaan sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat
dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek.
Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indera
pendengaran (telinga), dan indera penglihatan (mata).
Pengetahuan seseorang terhadap objek mempunyai intensitas
atau tingkat yang berbeda-beda. Secara garis besarnya dibagi
dalam enam tingkat pengetahuan, yaitu 1) Tahu (know). Tahu
diartikan hanya sebagai recall (memanggil) memori yang telah ada
sebelumnya setelah mengamati sesuatu; 2) Memahami
(comprehension). Memahami suatu objek bukan sekedar tahu
terhadap objek tersebut, tidak sekedar dapat menyebutkan, tetapi
orang tersebut harus dapat menginterpretasikan secara benar
tentang objek yang diketahui tersebut; 3) Aplikasi (application).
Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang
dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang
diketahui tersebut pada situasi yang lain; 4) Analisis (analysis)
adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan/atau
memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponenkomponen
yang terdapat dalam suatu masalah atau objek yang
diketahui; 5) Sintesis (synthesis) adalah suatu kemampuan untuk
menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang telah ada;
dan 6) Evaluasi (evaluation) adalah kemampuan seseorang untuk
melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek tertentu.
ii. Sikap
Menurut Allport 29) sikap merupakan suatu mental dan
syaraf sehubungan dengan kesiapan untuk menanggapi,
diorganisasi melalui pengalaman dan memiliki pengaruh yang
mengarahkan dan atau dinamis terhadap perilaku. Dengan kata
lain, sikap adalah kecenderungan dalam memberikan tanggapan
terhadap suatu objek baik yang disenangi ataupun tidak disenangi.
Sikap terbentuk dari adanya interaksi sosial yang dialami
oleh individu. Interaksi sosial mengandung arti lebih daripada
sekedar adanya kontak sosial dan hubungan antar individu
sebagai anggota kelompok sosial. Dalam interaksi sosial, terjadi
hubungan saling mempengaruhi di antara individu yang satu
dengan yang lain, terjadi hubungan timbal balik yang turut
mempengaruhi pola perilaku masing-masing individu sebagai
anggota masyarakat. Lebih lanjut, interaksi sosial itu meliputi
hubungan antara individu dengan lingkungan fisik maupun
lingkungan psikologis di sekelilingnya. Dalam interaksi sosialnya,
individu bereaksi membentuk pola sikap tertentu terhadap berbagai
objek psikologis yang dihadapinya. Diantara berbagai faktor yang
mempengaruhi pembentukan sikap adalah pengalaman pribadi,
kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media massa,
institusi atau lembaga pendidikan dan lembaga agama, serta faktor
emosi dalam diri individu 31) .
Menurut Allport 32) sikap itu terdiri dari tiga komponen, yaitu
: 1) Kepercayaan atau keyakinan, ide, dan konsep terhadap objek.
Artinya, bagaimana keyakinan dan pendapat atau pemikiran
seseorang terhadap objek; 2) Kehidupan emosional atau evaluasi
orang terhadap objek, artinya bagaimana penilaian (terkandung di
dalamnya faktor emosi) orang tersebut terhadap objek; dan
Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave), artinya sikap
adalah merupakan komponen yang mendahului tindakan atau
perilaku terbuka.
Selanjutnya, sikap berdasarkan intensitasnya terdiri dari 32)
: 1) Menerima (receiving) yaitu seseorang atau subjek mau
menerima stimulus yang diberikan (objek); 2) Menanggapi
(responding) yaitu memberikan jawaban atau tanggapan terhadap
pertanyaan atau objek yang dihadapi; 3) Menghargai (valuing)
yaitu menghargai diartikan subjek, atau seseorang memberikan
nilai yang positif terhadap objek atau stimulus, dalam arti,
membahasnya dengan orang lain dan bahkan mengajak atau
mempengaruhi atau menganjurkan orang lain merespons; 4)
Bertanggung jawab (responsible) yaitu kemampuan seseorang
untuk berani mengambil risiko bila ada orang lain yang
mencemoohkan atau adanya risiko lain atas tindakan yang sudah
diambil.
iii. Persepsi 33)
Persepsi merupakan suatu proses yang timbul akibat adanya
sensasi, dimana pengertian sensasi adalah aktivitas merasakan
atau penyebab keadaan emosi yang menggembirakan. Sensasi
juga dapat didefinisikan sebagai tanggapan yang cepat dari indera
penerima terhadap stimuli dasar. Dengan kata lain, persepsi
merupakan proses bagaimana stimuli diseleksi, diorganisasikan,
dan diinterpretasikan. Lebih lanjut, persepsi merupakan
pengalaman yang dihasilkan melalui panca indera. Setiap individu
mempunyai persepsi yang berbeda meskipun mengamati objek
yang sama. Faktor persepsi yang mempengaruhi seseorang dalam
melakukan tindakan kesehatan (termasuk memutuskan merujuk)
dipengaruhi oleh pengalaman sebelumnya, pengharapan, dan
keseriusan gejala 34) .
iv. Faktor Sosial Budaya
Faktor sosial budaya yang mempengaruhi keputusan dalam
merujuk antara lain umur, jenis kelamin, pekerjaan, sosial ekonomi.
Elling 33) menyebutkan self-concept dan image kelompok sebagai
faktor sosial budaya yang mempengaruhi perilaku kesehatan
seseorang. Foster 33) menyebutkan faktor sosial budaya yang lain
antara lain tradisi, sikap fatalism, nilai, ethnocentrism, dan unsur
budaya dipelajari pada tingkat awal dalam proses sosialisasi.
a. Pengambilan Keputusan Keluarga dan Penolong dalam Merujuk
Ibu Bersalin ke Rumah Sakit
Pengambilan keputusan dalam merujuk merupakan suatu
tindakan dan menurut Notoadmodjo 33) hal tersebut dapat
diklasifikasikan menjadi tiga yaitu :
a. Praktik terpimpin (guided response) yaitu apabila subjek atau
seseorang telah melakukan sesuatu tetapi masih tergantung pada
tuntunan atau menggunakan panduan.
b. Praktik secara mekanisme (mechanism) yaitu apabila subjek atau
seseorang telah melakukan atau mempraktikkan sesuatu hal
secara otomatis maka disebut praktik atau tindakan mekanis.
c. Adopsi (adoption) yaitu suatu tindakan atau praktik yang sudah
berkembang. Artinya, apa yang dilakukan tidak sekadar rutinitas
atau mekanisme saja, tetapi sudah dilakukan modifikasi, atau
tindakan atau perilaku yang berkualitas.
C. Kerangka Teori
Pola pengambilan keputusan keluarga dan bidan dalam merujuk
ibu bersalin ke rumah sakit pada kasus kematian ibu di Kabupaten Demak
akan ditelaah dengan menggunakan teori Green sebagai grand theory.
Meski demikian, peneliti juga memasukan teori Anderson, Wisnuwardhani
dan Setiadi sebagai teori pendukung yang bertujuan untuk memperkaya
penelaah.
Teori Green menjelaskan bahwa salah satu indikator dari kualitas
hidup adalah kematian ibu bersalin. Kematian tersebut terjadi karena
adanya keterlambatan dalam pengambilan keputusan yang dilakukan oleh
keluarga dan penolong dalam merujuk ibu bersalin ke rumah sakit.
Keterlambatan tersebut meliputi keterlambatan dalam mengambil
keputusan merujuk, keterlambatan dalam mencapai fasilitas kesehatan,
dan keterlambatan dalam memperoleh pertolongan di fasilitas kesehatan.
Selanjutnya dalam masalah gawat darurat obstetrik, keterlambatan
tersebut terdiri dari terlambat mengenali risiko atau bahaya, terlambat
dalam mengambil keputusan untuk mencari pertolongan, terlambat dalam
mendapatkan transportasi untuk membawa ke fasilitas yang lebih mampu,
dan terlambat dalam mendapatkan pertolongan di rumah sakit 28) .
Pengambilan keputusan keluarga dalam merujuk ibu bersalin ke
rumah sakit merupakan proses pengintegrasian yang mengkombinasikan
pengetahuan untuk mengevaluasi dua atau lebih perilaku alternatif, dan
memilih salah satu diantaranya, yang meliputi tahap pemahaman adanya
masalah, pencarian alternatif pemecahan, evaluasi alternatif dan hasil
keputusan 29) . Hasil dari keputusan tersebut adalah merujuk, tidak
merujuk, atau terlambat merujuk.
Tindakan pengambilan keputusan merujuk dari keluarga dan
penolong melibatkan banyak faktor dan saling berpengaruh secara
dinamis sehingga membentuk suatu pola keputusan tertentu. Selain itu,
tindakan tersebut juga melibatkan beberapa tahapan atau fase dan
masing-masing fase dipengaruhi oleh beberapa faktor. Setiap fase saling
terkait dan begitu pula terhadap faktor yang terdapat dalam masingmasing
fase, saling mempengaruhi sehingga akan mendukung atau
menghambat pengambilan keputusan. Menurut Green, faktor-faktor yang
mempengaruhi pola pengambilan keputusan keluarga dan penolong
dalam merujuk ibu bersalin ke rumah sakit adalah faktor predisposisi,
faktor penguat, faktor pemungkin dan lingkungan. Faktor predisposisi
merupakan usia, pendidikan, pengetahuan, kepercayaan, nilai/norma,
sikap, persepsi, dan riwayat kehamilan sebelumnya18),27),41) . Faktor
penguat adalah perilaku orang lain yang berpengaruh seperti keluarga,
teman sebaya, tokoh masyarakat, dan provider kesehatan. Faktor
pemungkin meliputi kondisi geografis, jarak ke rumah sakit, biaya, fasilitas
dan transportasi, kualitas dan kuantitas tenaga kesehatan, ketersediaan
alat, obat, bahan habis pakai, dan transfusi darah. Faktor lingkungan
merupakan adat istiadat atau budaya yang mendukung atau menghambat
terjadinya proses pengambilan keputusan merujuk ibu bersalin.
Identifikasi dari faktor predisposisi, penguat dan pemungkin akan
mendorong disusunnya program promosi kesehatan yang relevan dan
aplikatif dalam mengatasi kasus kematian ibu di Kabupaten Demak,
khususnya program Manajemen Kesehatan Ibu dan Anak. Ketiga faktor
tersebut akan mempengaruhi program pendidikan kesehatan yang akan
disusun untuk merubah pengambilan keputusan merujuk yang tidak tepat
dan lambat melalui program pendidikan, serta mempengaruhi kebijakan
provider kesehatan dalam mengatasi keterlambatan merujuk
Tidak ada komentar:
Posting Komentar